PRIA itu adalah Suryadi. Jalan hidup pria kelahiran Kotorajo, Sunur, Padangpariaman, 15 Februari 1965 lalu, terbilang unik. Sedikit pun ia tak pernah menyangka akan menjadi pengajar di Negara Belanda tersebut. Maklumlah, dia lahir dan dibesarkan di kampung kecil dengan orangtua sebagai petani.
(Foto: niadilova.blogdetik.com) |
Namun, karena tak kunjung diangkat menjadi dosen tetap, ia mencoba peruntungan di Universitas Indonesia. Di tengah ketidakpastian menunggu diangkat sebagai dosen tetap di UI, tahun 1998, lamarannya sebagai pengajar di Universiteit Leiden Belanda untuk penutur asli bahasa Indonesia ternyata diterima.
"Waktu akan berangkat ke Belanda saya tulis surat kepada orangtua. Bahwa saya merantau jauh sekali. Jika terjadi apa-apa pada saya, saya berharap orangtua mengikhlaskan saja," ujarnya kepada Padang Ekspres di ruang Wakil Walikota Pariaman Genius Umar, Jumat (24/1/2014).
Kehadiran Suryadi di Pariaman saat itu memang ingin bersilaturahmi dengan pejabat Pemerintah Kota Pariaman. Dia juga mengusulkan tiga orang tokoh Pariaman yang memiliki kiprah di tingkat nasional dan internasional sebagai pahlawan nasional.
Kehadirannya di Belanda, sedikit berbeda dengan kebanyakan mahasiswa Indonesia di Belanda lainnya. Jika mereka ke Belanda menjadi mahasiswa dengan memperoleh beasiswa, Suryadi justru ke Belanda untuk bekerja. Hasil kerja inilah yang menjadi modal untuk melanjutkan pendidikan S-2 di Leiden Universitas. Kini, ia kandidat Phd di universitas tempat dia mengajar.
Pertama kali menginjakkan kaki di Leiden, Suryadi cukup shock dengan perbedaan cuaca dan budaya. Ketika musim panas, sangat panas. Jika musim dingin, sangat dingin pula.
Begitu juga dengan kebudayaan. Awal-awalnya ia risih ketika musim panas, sebagian besar mahasiswanya berbikini ria di kelas yang dia ajar. Disiplin orang-orang Belanda juga menuntunnya lebih disiplin dalam berbagai hal. Ia juga mencicipi profesi sebagai tenaga freelancer di sejumlah kafe.
Sebagai pengajar, tentulah kemahirannya berbahasa Inggris dan bahasa Belanda dituntut menjadi kunci utama. Profesi yang ia tempati sekarang, dahulunya juga ditempati putra Pariaman Dahlan Abdullah, sebagai native speaker pertama Bahasa Indonesia di Belanda. Kemudian Dahlan digantikan Muhammad Zain (Ayah Harun Zain). Kehadirannya sebagai native speaker di Belanda seakan menjadi penyambung tradisi orang Pariaman sebagai native speaker di "Negara Kincir Angin" tersebut.
"Sebelumnya, jabatan yang saya tempati ini, ditempati orang Bali. Informasi yang saya dengar biasanya pemegang jabatan ini tak bertahan lama, paling satu atau dua tahun saja. Setelah itu diganti pihak universitas. Itulah makanya saat sudah sampai lima tahun di posisi itu, saya mulai berpikir akan diganti, tapi alhamdulillah sampai saat ini, saya masih dibutuhkan," ujarnya.
Selain sebagai native speaker, Suryadi juga berkutat dengan naskah-naskah lama tentang Indonesia. Suryadi larut larut bersama naskah tua yang ia kaji di pojok perpustakaan di berbagai perguruan tinggi di Eropa.
Hasil penelitian yang ia publikasikan di sejumlah jurnal internasional banyak mendapat tanggapan. Kajiannya atas surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau, misalnya, dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance Project) yang berpusat di Australian National University, Camberra, Australia.
Berkat penelitiannya atas naskah-naskah lama itu pula ia kerap diundang menjadi pemakalah seminar di mancanegara. Suryadi bahkan dipercaya memimpin satu proyek pernaskahan yang didanai The British Library.
Menggeluti naskah lama atau buku-buku klasik mengenai Nusantara ternyata memberi keasyikan tersendiri bagi Suryadi. Perpustakaan KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden menjadi rumah kedua, tempat ia "bersemedi", intens menekuni ribuan naskah tentang Indonesia yang pada zaman kolonial diangkut ke negeri Belanda.
"Kehadiran saya di Indonesia kali ini pun juga ada hubungannya dengan naskah lama. Saya berhasil menemukan, menerjemahkan dan merekonstruksi catatan ulama Pariaman Syekh Daud Sunuri yang berjudul Syair Rukun Haji di Leiden," ujarnya.
Naskah itu merupakan salah satu isi dari buku "Berhaji di Masa Silam" dengan editor Prof Henri ChambertLoir. Buku ini berisikan kisah-kisah perjalanan haji di masa silam. Dengan tebal buku 1.000 halaman ini akan di-launching di Jakarta dalam minggu ini.
Pada akhir pertemuan dengan Padang Ekspres, ia berpesan kepada generasi muda, untuk tidak mengalah dengan keadaan. Sebab, siapa pun memiliki kesempatan yang luas untuk menuntut ilmu ke negara mana pun. Tak harus anak-anak orang berpunya. Apalagi, saat ini banyak beasiswa yang ditawarkan pemerintah negara Eropa. Tentunya dengan memiliki persiapan matang, terutama menguasai Bahasa Inggris. (Padang Ekspres)
0 komentar